Sabtu, 29 Oktober 2016

NAMA-NAMA PAHLAWAN DARI KALIMANTAN

Nama-Nama Pahlawan dari Pulau Kalimantan :
 
1.Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Banjar, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, 1797[2] atau 1809[3] – meninggal di Bayan Begok, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.

Ia meninggal karena penyakit paru-paru dan cacar di pedalaman sungai Barito, Kalimantan Tengah. Kerangkanya dipindahkan ke Banjarmasin dan dimakamkan kembali di Taman Makam Perang Banjar Banjarmasin Utara, Banjarmasin. Perjuangan beliau dilanjutkan oleh puteranya Sultan Muhammad Seman dan mangkubumi Panembahan Muda (Pangeran Muhammad Said) serta cucunya Pangeran Perbatasari (Sultan Muda) dan Ratu Zaleha.

Pada 14 Maret 1862 beliau dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.

Silsilah

Semasa muda nama beliau adalah Gusti Inu Kartapati. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aminullah.[4] Ibunya Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang bernama Ratu Antasari/Ratu Sultan yang menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman tetapi meninggal lebih dulu sebelum memberi keturunan.
images?q=tbn:ANd9GcTgdgt4Fn9-NgIKOMFDDBV
Pangeran Antsari memiliki 3 putera dan 8 puteri. [5]
[sunting] Pangeran Antasari menjadi Pewaris Kerajaan Banjar

Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, beliau juga merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito.

Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari. Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:
“ Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah! ”

Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.[6]

Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.
[sunting] Perlawanan terhadap Belanda
Lanting Kotamara semacam panser terapung di sungai Barito dalam pertempuran dengan Kapal Celebes dekat pulau Kanamit, Barito Utara

Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.

Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.

Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.
“ ...dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)... ”

Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini.

Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan.

Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai rambut. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali Komplek Pemakaman Pahlawan Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.

Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 23 Maret 1968.[7] Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari. Kemudian untuk lebih mengenalkan P. Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar Pangeran Antasari dalam uang kertas nominal Rp 2.000
Hasan Basry
Hasan_Basri_Durin.jpg 
Brigjen Hasan Basry (lahir di Kandangan, Hulu Sungai Selatan, 17 Juni 1923 – meninggal di Jakarta, 15 Juli 1984 pada umur 61 tahun) adalah seorang tokoh militer Indonesia. Ia dimakamkan di Simpang Tiga, Liang Anggang, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Dianugerahi gelar Pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 110/TK/2001 tanggal 3 November 2001.[1]
[sunting] Biografi

Hasan Basry menyelesaikan pendidikan di Hollands Inlandsche School (HIS) yang setingkat sekolah dasar, kemudian ia mengikuti pendidikan berbasis Islam, mula-mula di Tsanawiyah al-Wathaniah di Kandangan, kemudian di Kweekschool Islam Pondok Modern di Ponorogo, Jawa Timur.[1]

Setelah prolamasi kemerdekaan, Hasan Basry aktif dalam organisasi pemuda Kalimantan yang berpusat di Surabaya. Dari sini ia mengawali kariernya sebagai pejuang. Pada 30 Oktober 1945, Hasan Basry berhasil menyusup pulang ke Kalimantan Selatan dengan menumpang kapal Bintang Tulen, yang berangkat lewat pelabuhan Kalimas Surabaya. Sesampainya di Banjarmasin, Hasan Basry menemui H. Abdurrahman Sidik di Pekapuran, untuk mengirimkan pamflet dan poster tentang kemerdekaan Indonesia. Selain itu melalui AA. Hamidhan, juga dikirim pamflet ke Amuntai dengan Ahmad Kaderi, sedangkan yang ke Kandangan dikirim lewat H. Ismail.

Di Haruyan pada tanggal 5 Mei 1946 para pejuang mendirikan Lasykar Syaifullah. Program utama organisasi ini adalah latihan keprajuritan, sebagai pemimpin ditunjuklah Hassan Basry. Pada tanggal 24 September 1946 saat acara pasar malam amal banyak tokoh Lasykar Syaifullah yang ditangkap dan dipenjarakan Belanda. Karena itu Hassan Basry mereorganisir anggota yang tersisa dengan membentuk , Benteng Indonesia.[1]

Pada tanggal 15 Nopember 1946, Letnan Asli Zuchri dan Letnan Muda M.Mursid anggota ALRI Divisi IV yang berada di Mojokerto, menghubungi Hassan Basry untuk menyampaikan tugas yaitu mendirikan satu batalyon ALRI Divisi IV di Kalimantan Selatan. Dengan mengerahkan pasukan Banteng Indonesia Hassan Basry berhasil membentuk batalyon ALRI tersebut. Ia menempatkan markasnya di Haruyan. Selanjutnya ia berusaha menggabungkan semua kekuatan bersenjata di Kalimantan Selatan ke dalam kesatuan yang baru terbentuk itu.[1]

Perkembangan politik di tingkat pemerintah pusat di Jawa menyebabkan posisi Hasan Basry dan pasukannya menjadi sulit. Sesuai dengan Perjanjian Linggarjati (25 Maret 1947), Belanda hanya mengakui kekuasaan de facto RI atas Jawa, Madura dan Sumatera. Berarti Kalimantan merupakan wilayah yang ada di bawah kekuasaan Belanda. Akan tetapi, Hasan Basry tidak terpengaruh oleh perjanjian tersebut. Ia dan pasukannya tetap melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Sikap yang sama diperlihatkan pula terhadap Perjanjian Renville (17 Januari 1948). Ia menolak untuk memindahkan pasukannya ke daerah yang masih dikuasai RI, yakni ke Jawa.[1]

Perjuangan Hassan Basry di Kalimantan Selatan selalu merepotkan pertahanan Belanda pada masa itu dengan puncaknya berhasil memproklamasikan kedudukan Kalimantan sebagai bagian dari Republik Indonesia yang dikenal dengan Proklamasi 17 Mei 1949.

Pada tanggal 2 September 1949 dilakukan perundingan antara ALRI DIVISI (A) dengan Belanda, beserta penengah UNCI. Pada kesempatan ini, Jenderal Mayor Suharjo atas nama pemerintah mengakui keberadaan ALRI DIVISI (A) sebagai bagian dari Angkatan Perang Indonesia, dengan pemimpin Hassan Basry dengan pangkat Letnan Kolonel.

Kemudian pada 1 November 1949, ALRI DIVISI (A) dilebur ke dalam TNI Angkatan Darat Divisi Lambung Mangkurat, dengan panglima Letkol Hassan Basry. Selesai perang kemerdekaan, beliau melanjutkan pendidikan agamaya ke Universitas Al Azhar tahun 1951 – 1953. Selanjutnya diteruskan di American University Cairo tahun 1953 – 1955.

Sekembalinya ke tanah air, pada tahun 1956, Hassan Basry di lantik sebagai Komandan Resimen Infanteri 21/Komandan Territorial VI Kalsel. Dan pada tahun 1959, ditunjuk sebagai Panglima Daerah Militer X Lambung Mangkurat.

Pada saat suasana politik memanas karena kegiatan PKI dan ormasnya, Hassan Basry mengeluarkan surat pembekuan kegiatan PKI beserta ormasnya pada tanggal 22 Agustus 1960. Keluarnya surat ini sempat ditegur oleh Presiden Sukarno, namun Hassan Basry sebagai kepala Penguasa Perang Daerah Kalsel tidak mentaati teguran presiden. Pembekuan PKI dan ormasnya diikuti oleh daerah Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan, peristiwa ini dikenal dengan sebutan Tiga Selatan. Pada tahun 1961 – 1963, menjabat Deputi Wilayah Komando antar Daerah Kalimantan dengan pangkat Brigadir Jenderal. Pada tanggal 17 Mei 1961, bertepatan peringatan Proklamasi Kalimantan, sebanyak 11 organisasi politik dan militer menetapkan Hassan Basry sebagai Bapak Gerilya Kalimantan. Kesepakatan ini diikuti oleh ketetapan DPRGR Tingkat II Hulu Sungai Utara pada tanggal 20 Mei 1962, yaitu ketetapan Hassan Basry sebagai Bapak Gerilya Kalimantan.

Pada 1960 – 1966, Hassan Basry menjadi anggota MPRS. Pada tahun 1970, beliau diangkat sebagai Ketua Umum Harian Angkatan 45 Kalsel sekaligus sebagai Dewan Paripurna Angkatan 45 Pusat dan Dewan Paripurna Pusat Legiun Veteran Republik Indonesia. Pada 1978 – 1982, Hassan Basry menjadi anggota DPR.

Hassan Basry meninggal pada tanggal 15 Juli 1984 setelah sakit dan dirawat di RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Pemakaman beliau dilaksanakan secara militer dengan inspektur upacara Mayjen AE. Manihuruk. beliau dimakamkan di Liang Anggang Banjarbaru Kalimantan Selatan. Atas jasa-jasanya, beliau dianugerahi sebagai Pahlawan Kemerdekaan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 3 November 2001
Tjilik Riwut: Pahlawan Dayak-Nasional
20100618-tjilik.jpg
Seorang yang bangga akan tanah leluhurnya serta selalu menyatakan dirinya sebagai "orang hutan" karena ia lahir dan tumbuh besar di belantara hutan Kalimantan. Ia lahir di Katunen, Kasongan, tepatnya Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah. Ia adalah seorang yang mencintai alam dan dan seorang yang mempunyai pendirian yang kuat yang dapat melihat sekitarnya dengan dasar yang kokoh terutama mengenai budaya Dayak.

Ketika Ia menginjak usia remaja, ia sering pergi seorang diri menuju Bukit Batu, untuk bertapa. Pada waktu melakukan pertapaan inilah ia memperoleh petunjuk pertama kali yang mengarahkannya untuk menyeberangi lautan menuju ke Pulau Jawa. Pada jaman dulu bisa dibayangkan keterbatasan sarana transportasi apalagi sarana komunikasinya sangatlah sulit. Unruk mencapai pulau Jawa ia tak kenal lelah dan putus asa, halangan serta rintangan dianggapnya sebagai pemacu semangat untuk mencapai sesuatu yang dicita-citakan. Segala macam cara ia coba untuk melakukannya baik itu ia harus berjalan kaki menerobos lebatnya belantara Kalimantan, menyusuri sungai menggunakan perahu maupun rakit, agar ia dapat mencapai pulau Jawa di seberang laut sana. Akhirnya, ia pun sampai juga di Banjarmasin, sekarang ibukota Kalimantan Selatan, dan di sinilah ia mendapatkan pekerjaan yang akan mengantarkannya ke tempat tujuan, yaitu Pulau Jawa.

Pada awal perjalanan karirnya (1940) di mulai menjadi seorang pemimpin redaksi majalah Pakat Dayak bersama "Suara Pakat". Koresponden Harian Pemandangan, pimpinan M. Tambran. Dan juga koresponden Harian Pembangunan, pimpinan Sanusi Pane, seorang sastrawan Indonesia angkatan pujangga baru. Ia juga menjadi salah seorang tokoh yang mewakili 142 suku Dayak yang berada di pedalaman Kalimantan (185.000 jiwa) yang menyatakan diri dan melaksanakan Sumpah Setia dengan upacara adat leluhur suku Dayak kepada pemerintah Republik Indonesia (17 Desember 1946). Ia adalah putra Dayak yang menjadi seorang anggota KNIP (1946 - 1949). Ia juga berjasa dalam memimpin Operasi penerjunan Pasukan Payung yang pertama kali dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik indonesia (17 Oktober 1947), tepatnya di desa Sambi, Pangkalanbun. Dengan pasukan MN 1001. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Pasukan Khas TNI-AU.

Dalam suatu kesempatan, ia akhirnya dapat pulang kembali ke tanah leluhurnya, dan kembali bertapa di Bukit Batu. Pada pertapaannya kali ini ia memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa untuk perjuangannya melawan penjajah yang pada saat itu sedang "bertengger" di Indonesia. Dalam kesempatan itu ia pun bernazar untuk tidak menikah sebelum Indonesia merdeka. Setelah ia selesai melakukan pertapaanya, ia memperoleh suatu benda, yaitu sebuah batu yang berbentuk seperti daun telinga. Petunjuk yang ia peroleh sewaktu bertapa mengatakan bahwa batu yang ia peroleh itu dapat dipergunakan untuk mendengar dan memantau musuh apabila di letakkan berdekatan dengan daun telinganya. Namun setelah kemerdekaan Indonesia, batu itu pun gaib keberadaannya.

Sebagai seorang pejuang yang sangat mencintai kebudayaan leluhurnya, ia sangat fanatik dengan angka 17, yaitu angka kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Karena begitu menyatunya dengan angka 17 ini pada dirinya maka sebagaian besar kehidupannya dipengaruhi oleh angka 17, berikut beberapa contohnya.

1. Pelaksanaan sumpah setia 142 suku di pedalaman Kalimantan yang ia wakili kepada pemerintah Republik Indonesia secara adat dihadapan Presiden Soekarno di Gedung Agung, Yogyakarta 17 Desember 1946.
2. Desa Pahandut yang merupakan cikal bakal dari ibukota Kalimantan Tengah, yaitu Palangka Raya. Merupakan desa yang ke-17 yang dihitung dari sungai Kahayan.
3. Peletakkan batu pertama kota Palangka Raya yang melambangkan perjuangan yang telah memberikan hasil kepada masyarakatnya, pada tanggal 17 Juli 1957.
4. Ia menjadi gubernur yang pertama bagi provinsi yang ke-17, yaitu provinsi Kalimantan Tengah
5. Kelahiran provinsi Kalimantan Tengah tepat pada masa pemerintahan Republik Indonesia Kabinet yang ke-17.

Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1987, putra terbaik Dayak ini tutup usia dalam usia 69 tahun di Rumah Sakit Suaka Insan, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Begitu banyak jasa dan pengorbanan yang telah dilakukan oleh seorang putra Dayak ini, bahaya pun selalu mengintai keselamatannya. Namun berbekal keyakinan teguh serta semangat yang membara akan cita-cita yang telah lama diimpikannya, ia pun melakukan tugasnya tanpa kenal lelah apalagi kata menyerah dalam dirinya. Tidaklah kecil jasa seorang Tjilik Riwut kepada bangsa Indonesia. Haruslah generasi sekarang ini mengenang jasa-jasanya agar dapat memetik keteladanan, kegigihan serta perjuangan hidupnya agar dapat dijadikan panutan bagi kita.

Atas jasa-jasanya yang telah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia serta membangun provinsi Kalimantan Tengah maka, pada masa pemerintahan presiden B.J. Habibie, ia ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia. untuk mengingat jasa seorang Tjilik Riwut, putra Kasongan sungai Katingan ini diabadikan pada berbagai tempat di Kalimantan Tengah, diantaranya bandara Palangka Raya, jalan terpanjang di Kalimantan yang menghubungkan kota Palangka Raya hingga daerah Kotawaringin. 
Panglima Batur
images?q=tbn:ANd9GcSceCVB26sJxFRbWcHfKRH
Panglima Batur kelahiran tahun 1852 silam di desa Buntok Baru Kecamatan Teweh Tengah,Barito Utara meninggal di usia 53 atau pada tanggal 5 Oktober 1905 dan dimakamkan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Dalam buku itu diceritakan sejarah tentang terbunuhnya Panglima Batur dengan cara diduga digantung oleh Belanda tahun 1905 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Seorang tentara Belanda yang menghukum gantung pejuang rakyat pedalaman Barito ini juga merupakan pelaku yang mengeksekusi pejuang rakyat Aceh yang juga pahlawan Nasional bernama Teuku Umar.
Pejuang di Daerah Aliran Sungai Barito itu merupakan tangan kanan Sultan Muhammad Seman (anak Pangeran Antasari) ini bersama pasukannya hanya dilengkapi alat sederhana melawan Belanda yang menggunakan persenjataan lengkap.
Kawasan yang menjadi tempat pertempuran itu berada di sekitar Desa Buntok Baru, Butong, Lete, Mantehep (dekat Muara Teweh) bahkan sampai ke wilayah Manawing dan Beras Kuning wilayah hulu Barito.
Pejuangan Barito dari rakyat biasa ini ditangkap Belanda di Muara Teweh pada 24 Agustus 1905 dan dibawa ke Banjarmasin kemudian dihukum gantung dengan tuduhan makar, namun saat mau dieksekusi ditiang gantung salah satu alatnya tidak berfungsi dan saat itu rencana hukum gantung ditunda.
Setelah tertunda sepekan, pejuang yang dicari-cari Belanda dengan hadiah 1.000 gulden apabila tertangkap itu kembali akan dihukum gantung, namun saat itu Belanda terkejut karena Panglima Batur sudah meninggal dunia.
Jasad pejuang itu tetap dibawa ke tiang gantungan untuk diperlihatkan kepada masyarakat bahwa Panglima Batur benar-benar dihukum gantung dan jenazahnya dikubur di Kuin Banjarmasin, selanjutnya pada tanggal 21 April 1958 makamnya dipindahkan ke Komplek Makam Pahlawan Perang Banjar, Banjarmasin
Pangeran.M.Noor
images?q=tbn:ANd9GcRxM87iIQ5jZs0JuaLVu13
Pangeran.M.Noor dilahirkan 24 Juni 1901 di Martapura, Kalimantan Selatan dari keluarga bangsawan Banjar. Setelah lulus HIS (1917) ia belajar di MULO (1921), ke HBS (1923), kemudian masuk sekolah teknik tinggi di Bandung dan berhasil meraih gelar Insinyur pada tahun 1927, setahun setelah Ir. Soekarno (presiden RI pertama). , Pada tahun 1935-1939 beliau menggantikan ayahnya Pangeran Muhammad Ali sebagai wakil Kalimantan dalam Volksraad di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Tahun 1939, beliau digantikan Mr. Tadjudin Noor.
Setelah Indonesia merdeka beliau diangkat sebagai Gubernur Kalimantan yang pertama. Dalam aksi gerilya bersenjata ia mendirikan pasukan M.N.1001 yang beroperasi di Kalimantan Selatan pada tahun 1945 – 194.
Sebagai seorang ilmuan beliau diangkat menjadi Menteri Pekerjaan Umum (1956-1957) pada Kabinet Ali Sastromijoyo. Ketika itulah membuat gagasan ‘Proyek Sungai Barito’ yang berhasil merealisasikan pembangunan PLTA Riam Kanan dan pengerukan ambang Barito, sekarang PLTA itu diabadikan memakai nama beliau menjadi PLTA P.M.Noor.
Menjelang akhir hayatnya beliau terbaring lemah di RS. Pelni Jakarta, tetapi semangat beliau untuk membicarakan pembangunan di Kalimantan Selatan tak pernah surut. Setiap ada tamu yang berkunjung beliau masih saja bertukar pikiran mengenai pembangunan di banua. Bagi beliau pembangunan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat adalah identik dengan kehidupannya. Ia akan berhenti berpikir dan berbicara akan hal itu (pembangunan) bilamana otak dan nafasnya sudah berhenti. Saat hari-hari akhir masa hidupnya dengan kondisi tubuh yang sudah mulai menurun, PM Noor berkata, “Teruskan . . . Gawi kita balum tuntung“
Akhirnya, dengan ketetapan Allah Yang Maha Kuasa, Mohamad Noor, dipanggil-Nya dalam usia 78 tahun pada 15 Januari 1979. Dimakamkan disamping istri tercinta ibunda Gusti Aminah yang sudah mendahuluinya di TPU Karet Jakarta.
Selain diabadikan sebagai nama waduk, jalan menuju bendungan tersebut juga dinamakan Jalan Ir. Pangeran M. Noor.
.
 Kiai Haji Idham Chalid
KH+Idham+Chalid+Al+Banjari.jpg
Banjarmasin - Sejumlah tokoh dan keluarga besar asal Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, kini menyiapkan tim untuk memperjuangkan gelar Pahlawan Nasional bagi almarhum Kiai Haji Idham Chalid yang wafat di Jakarta, sepekan lalu.

"Tim itu nanti yang menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan perjuangan mendapatkan gelar Pahlawan Nasional tersebut, termasuk melakukan komunikasi dengan berbagai pihak," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Selatan (Kalsel) H. Ahmad Makkie, di Banjarmasin, Sabtu kemarin.

Usai tahlilan memperingati wafatnya KH Idham Chalid, dia mengatakan pembentukan tim dan gagasan memperjuangkan gelar Pahlawan Nasional itu menindaklanjuti aspirasi yang tumbuh dan berkembangan di masyarakat, khususnya warga Kalsel.

Menurut mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia asal Daerah Pemilihan Kalsel itu, tidak berkelebihan atau wajar-wajar saja kalau masyarakat di provinsinya menginginkan/memperjuangkan agar tokoh urang Banjar yang menasional tersebut mendapat gelar Pahlawan Nasional.

Mantan Bupati Tapin dua periode itu mengemukakan, jasa-jasa almarhum tidak saja bagi daerah Kalsel atau Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) khususnya, tetapi lebih luas lagi, yaitu bagi negara dan bangsa Indonesia.

"Oleh karena itu, agar tidak kedahuluan orang lain, kami harus segera bersikap untuk memperjuangkan gelar Pahlawan Nasional tersebut, dan sebagai langkah awalnya membentuk tim," demikian Makkie.

Mantan Gubernur Kalsel 1985-1995, H.M. Said menyambut positif atas gagasan memperjuangkan gelar Pahlawan Nasional terhadap almarhum Idham Chalid. Bahkan, perjuangan tersebut perlu diambil alih pemerintah provinsi bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat.

"Akan lebih baik diambil alih atau dilakukan Pemprov bersama DPRD Provinsi Kalsel," kata mantan anggota DPD RI asal dari provinsi tersebut menyarankan.

Mengenai data pendukung untuk memperjuangkan gelar Pahlawan Nasional, menurut peraih Pena Emas Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu, hal tersebut mungkin tidak terlalu sulit sebab sudah ada buku sejarah almarhum.

Begitu pula, dalam buku yang dibuat almarhum Brigjen H. Hasan Basri yang mendapat julukan Bapak Geriliya Kalimantan itu menerangkan bahwa almarhum Idham Chalid juga seorang tokoh pejuang angkatan 45 dalam menegakkan kemerdekaan serta mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Dalam buku almarhum Hasan Basri tersebut diterangkan, Idham Chalid juga punya peran dalam mencegah berpisahnya Kalimantan dari NKRI, yang ketika itu digembar-gemburkan Dewan Banjar," ungkapnya.

"Bahkan, ketika itu (1948) Kalimantan mau menjadi negara sendiri dengan presidennya Sultan Hamid. Tapi, karena perjuangan Hasan Basri bersama kawan-kawan, termasuk almarhum Idham Chalid, Negara Kalimantan tidak pernah ada dan tetap dalam NKRI," demikian M. Said.

Pendapat dan dukungan senada dari H. Syafriansyah, mantan anggota DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Dia menambahkan, ketokohan almarhum Idham Chalid bukan cuma menasional, melainkan juga internasional.

"Ketokohan Idham Chalid yang juga menginternasional itu, saya baca dalam bukunya Roeslan Abdul Gani, seorang politikus nasional yang cukup terkenal, baik pada masa Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto," demikian Syafriansyah.

Tim persiapan perjuangan untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional bagi almarhum Idham Chalid tersebut, antara lain H. Abdul Latif Hanafiah, anggota DPRD Kalsel, H. Kamarul Hidayat dari Banjar TN, dan Aliansyah dari Tabloid Serambi Ummah Banjarmasin Post Group.

Sumber : http://rachmatsolleh.mywapblog.com/nama-nama-pahlawan-dari-kalimantan.xhtml

Tidak ada komentar:

Posting Komentar